Nama kelompok :
FMuhamad ilham febrian
Fmuhammad Aditya W.S.
Tari Jaipong
Tari ini diciptakan
oleh seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira, sekitar tahun 1960-an, dengan tujuan untuk menciptakan
suatu jenis musik dan tarian pergaulan yang digali dari kekayaan seni tradisi
rakyat Nusantara, khususnya Jawa Barat. Meskipun termasuk seni tari kreasi yang
relatif baru, jaipongan dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat yang sudah
berkembang sebelumnya, seperti Ketuk
Tilu, Kliningan, serta Ronggeng. Perhatian Gumbira pada kesenian rakyat yang salah satunya
adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan
pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerakmincid dari beberapa kesenian menjadi
inspirasi untuk mengembangkan kesenian jaipongan.
Sebelum bentuk seni
pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi
terbentuknya tari pergaulan ini. Di kawasan perkotaanPriangan misalnya, pada masyarakat elite, tari pergaulan dipengaruhi
dansa Ball Room dari Barat. Sementara pada kesenian
rakyat, tari pergaulan dipengaruhi tradisi lokal. Pertunjukan tari-tari
pergaulan tradisional tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi
berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara bergaul.
Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang
simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh
masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya
didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong.
Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang
baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan
memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan
aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang
di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta,Indramayu, dan Subang)
dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa
pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk
Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng
Banjet cukup
digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil
dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih
menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak
bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya
menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari
Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah
Tayuban dan Pencak Silat.
Tarian ini mulai
dikenal luas sejak 1970-an. Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya
disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan
pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental
dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya,
yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.
Karya Jaipongan
pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser
Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu
muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi
perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama
Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada
tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut
lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan
maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk
lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian.
Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari
untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh
pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan
lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai
usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa
daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya
"kaleran" (utara).
Ciri khas Jaipongan
gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan
(alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada
pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan
yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka),
misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui
pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya,
Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3)
Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh
penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi
melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan
bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil
salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara
sinden dan penonton (bajidor).
Perkembangan
selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan
tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut,Iring-iring Daun
Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari
Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan Asep.
Dewasa ini tari
Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal
ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari
negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari
Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa
dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak memengaruhi kesenian-kesenian
lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang,
degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat
maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi
kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni.
Tari Tor-Tor
Tortor adalah tarian seremonial yang disajikan dengan musik
gondang. Secara fisik tortor merupakan tarian, namun makna yang lebih dari
gerakan-gerakannya menunjukkan tortor adalah sebuah media komunikasi, di mana
melalui gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara.
Tortor dan musik gondang ibarat koin yang tidak bisa
dipisahkan. Sebelum acara dilakukan terbuka terlebih dahulu tuan rumah (Hasuhutan)
melakukan acara khusus yang dinamakan Tua ni Gondang, sehingga berkat
dari gondang sabangunan.
Dalam pelaksanaan tarian tersebut salah seorang dari
hasuhutan (yang mempunyai hajat akan memintak permintaan kepada penabuh gondang
dengan kata-kata yang sopan dan santun sebagai berikut : "Amang pardoal pargonci" :
1.
"Alualuhon ma jolo tu ompungta
Debata Mulajadi Nabolon, na Jumadihon nasa na adong, na jumadihon manisia dohot
sude isi ni portibion."
2.
"Alualuhon ma muse tu sumangot ni
ompungta sijolojolo tubu, sumangot ni ompungta paisada, ompungta paidua, sahat
tu papituhon."
3.
'"Alualuhon ma jolo tu sahala ni
angka amanta raja na liat nalolo."
Setiap selesai satu permintaan selalu diselingi dengan
pukulan gondang dengan ritme tertentu dalam beberapa saat. Setelah permintaan/seruan tersebut
dilaksanakan dengan baik maka barisan keluarga suhut yang telah siap manortor
(menari) mengatur susunan tempat berdirinya untuk memulai menari.
Adapun jenis permintaan jenis lagu yang akan dibunyikan
adalah seperti : Permohonan kepada Dewa dan pada ro-roh leluhur agar
keluarga suhut yang mengadakan acara diberi keselamatan kesejahteraan,
kebahagiaan, dan rezeki yang berlimpah ruah, dan upacara adat yang akan
dilaksanakan menjadi sumber berkat bagi suhut dan seluruh keluarga, serta para
undangan.
Ada banyak pantangan yang tidak diperbolehkan saat manortor,
seperti tangan si penari tidak boleh melewati batas setinggi bahu ke atas, bila
itu dilakukan berarti si penari sudah siap menantang siapa pun dalam bidang
ilmu perdukunan, atau adu pencak silat (moncak), atau adu tenaga
batin dan lain-lain.
Tari tortor digunakan sebagai sarana penyampaian batin baik
kepada roh-roh leluhur dan maupun kepada orang yang dihormati (tamu-tamu) dan
disampaikan dalam bentuk tarian menunjukkan rasa hormat.
Tari Legong
Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang
terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya
gerak tari yang luwes atau lentur dan "gong" yang artinya gamelan. "Legong" dengan demikian mengandung arti gerak
tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya.
Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan.
Legong
dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua.[1] Konon idenya diawali dari seorang
pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis
menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang
pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam repertoar tarian
dengan gamelan lengkap.[2]
Sesuai dengan awal
mulanya, penari legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton.
Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat
seorang penari tambahan, disebut condong,
yang tidak dilengkapi dengan kipas.
Struktur tarinya
pada umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad.
Dalam perkembangan
zaman, legong sempat kehilangan popularitas di awal abad ke-20 oleh maraknya
bentuk tari kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha revitalisasi baru
dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dengan menggali kembali dokumen lama untuk
rekonstruksi
Tari Seudati
Tari
Seudati adalah
salah satu kesenian tari tradisional yang berasal dari Aceh. Tarian ini
diyakini sebagai bentuk baru dari Tari
Ratoh atau Ratoih, yang merupakan tarian
yang berkembang di daerah pesisir Aceh. Tari Ratoh atau Ratoih biasanya
dipentaskan untuk mengawali permainan sabung ayam, serta dalam berbagai ritus
sosial lainnya, seperti menyambut panen dan sewaktu bulan purnama. Setelah
Islam datang, terjadi proses akulturasi, dan menghasilkan Tari Seudati, seperti
yang kita kenal hari ini.
Tarian ini pada mulanya berkembang di Desa
Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang diasuh oleh seorang
bernama Syeh Tam. Selanjutnya, tarian ini berkembang juga di Desa Didoh,
Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie, dibawah asuhan Syeh Ali
Didoh. Dalam perjalanannya,
tarian ini cukup berkembang di Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Timur, dan hari ini
bahkan bisa ditemui di seluruh daerah Aceh.
Kata “seudati” berasal dari Bahasa Arab “syahadati” atau “syahadatain”, yang artinya pengakuan atas keesaan Allah
dan pengakuan bahwa Muhammad adalah nabi utusan-Nya. Teori lain beranggapan bahwa
“seudati” berasal dari kata “seurasi”, yang mengandung makna kompak dan harmonis.
Oleh penganjur Islam zaman itu, Tari Seudati digunakan sebagai media dakhwah;
untuk menyebarluaskan agama Islam. Berbagai cerita tentang persoalan-persoalan
hidup dibawakan dalam tarian ini, dengan maksud agar masyarakat mendapat
petunjuk pemecahan problem-problem hidup sehari-hari mereka. Selain sebagai
media dakwah, Tari Seudati sekarang sudah menjadi pertunjukan hiburan rakyat.
·
Formasi dalam Tari
Seudati
Seudati dibawakan oleh delapan orang laki-laki
sebagai penari utama, yang terdiri dari seorang pemimpin yang disebut syeikh, satu orang pembantu syeikh, dua orang
pembantu di sebelah kiri yang disebut apeetwie, satu orang pembantu di bagian belakang, yang
disebut apeet bak, dan tiga orang pembantu biasa. Selain mereka, ada pula dua
orang penyanyi sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi.
·
Karakteristik Tari
Seudati
Tari Seudati tidak diiringi alat musik, melainkan hanya
dengan beberapa bunyi yang berasal dari tepukan tangan ke dada dan pinggul,
hentakan kaki ke lantai, dan petikan jari. Gerak demi gerak dibawakan mengikuti
irama dan tempo lagu yang dinyanyikan. Beberapa gerakan dalam tarian ini sangat
dinamis dan penuh semangat. Namun ada juga beberapa bagian yang nampak kaku,
tetapi sejatinya memperlihatkan keperkasaan dan kegagahan para penarinya.
Kemudian, tepukan tangan ke dada dan perut mengesankan kesombongan sekaligus
sikap kesatria.
Tarian ini tergolong dalam kategori Tribal War
Dance atau
tarian perang, yang mana muatan dalam syairnya bisa membangkitkan semangat. Hal
inilah yang membuat tarian ini sempat dilarang di zaman Pemerintahan Belanda,
karena dianggap bisa ‘memprovokasi’ para pemuda untuk memberontak. Tarian ini
baru diperbolehkan lagi dipertunjukan setelah Indonesia merdeka.
Busana yang digunakan dalam Tari Seudati
terdiri dari celana panjang dan kaos oblong lengan panjang yang ketat warna
putih; kain songket yang dililitkan sebatas paha dan pinggang, rencong yang
disematkan di pinggang, ikat kepala berwarna merah, dan sapu tangan berwarna.
Tari Serimpi
Tari Serimpi adalah tari klasik dari Jogjakrta yang selalu
dibawakan oleh 4 penar karena kata serimpi berarti 4 yang melambangkan 4 unsur
dunia yaitu : api, angin, udara dan bumi (tanah). Tari serimpi diperagarakan
oleh 4 orang putri ddengan nama peran Batak, Gulu, Dhada dan Buncit yang
melambangkan 4 buah tiang pendopo. Tari serimpi dikaitkan dengan kata impi atau
mimpi karena gerak tari yang lemah gemulai membuat penontonnya merasa dibuati
ke alam mimpi.
Konon, sejarah Tari Serimpi berawal dari masa antara 1613-1646 Sultan Agung
memerintah Kerajaan Mataram. Pada 1775 Kerajaan Mataram pecah menjadi
Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta dan berimbas terhadap tari
serimpi. Di Kesultanan Yogyakarta digolongkan menjadi Serimpi Babul Layar,
Serimpi Dhempel, Serimpi Genjung. Sedangkan di Kesultanan Surakarta digolongkan
menjadi Serimpi Anglir Mendung dan Serimpi Bondan.
Walaupun sudah tercipta sejak lama, Tari Serimpi ini baru dikenal khalayak banyak sejak 1970-an
karena tarian ini dianggap sakral dan hanya dipentaskan dalam lingkungan
keraton untuk ritual kenegaraan. Serimpi hidup di lingkungan istana Yogyakarta
dan merupakan seni yang adhiluhung serta dianggap pusaka Kraton.
Pakaian Tari Serimpi mengalami perkembangan. Jika semula seperti pakaian temanten putri
Kraton gaya Yogyakarta dengan dodotan dan gelung bokornya sebagai motif hiasan
kepala, maka kemudian beralih ke baju tanpa lengan dengan hiasan kepala yang
berjumbai bulu burung kasuari serta gelung berhiaskan bunga ceplok.
Karakteristik pada penari Serimpi adalah keris yang diselipkan di depan silang
ke kiri. Penggunaan keris pada tari Serimpi adalah karena dipergunakan pada
adegan perang, yang merupakan motif karakteristik Tari Serimpi yang
menggambarkan pertikaian antara dua hal yang bertentangan antara baik dan
buruk, antara benar dan salah, antara akal manusia dan nafsu manusia.
Tari Barong
Tari Barong merupakan tarian yang ditarikan oleh dua orang
penari laki-laki, seorang memainkan bagian kepala barong serta kaki depan, dan
seorang lagi memainkan bagian kaki belakang dan ekor. Barong adalah karakter
dalam mitologi Bali, sedangkan di Jawa disebut Barongan. Sebagai roh pelindung,
Barong sering ditampilkan sebagai seekor singa. Ia adalah raja dari
roh-roh serta melambangkan kebaikan, merupakan musuh Rangda dalam mitologi
Bali. Di pulau Bali setiap bagian pulau Bali mempunyai roh pelindung untuk tanah
dan hutannya masing-masing. Barong singa adalah salah satu dari lima
bentuk Barong. Setiap Barong dari yang mewakili daerah tertentu
digambarkan sebagai hewan yang berbeda. Barong yang berbentuk binatang
mytologi ini banyak sekali macamnya ada yang kepalanya berbentuk kepala singa,
harimau, babi hutan jantan (bangkal), gajah, lembu atau
keket. Bentuk Barong sebagai singa sangatlah populer dan berasal
dari Gianyar.
Tari Barong merupakan peninggalan kebudayaan Pra Hindu yang menggunakan boneka
berwujud binatang berkaki empat atau manusia purba yang memiliki kekuatan
magis. Diduga kata barong berasal dari kata bahrwang atau diartikan beruang,
seekor binatang mythology yang mempunyai kekuatan gaib, dianggap sebagai
pelindung. Tetapi di Bali pada kenyataannya Barong tidak hanya di wujudkan
dalam binatang berkaki empat akan tetapi ada pula yang berkaki dua. Topeng
Barong merupakan benda sakral yang sangat disucikan oleh masyarakat Hindu Bali.